Muhtiani is proudly powered by Blogger.
Designed by Didats Triadi

DateWednesday, March 14, 2007   Comment

Sutradara : Peter Jackson
Skenario : Peter Jackson, Fran Walsh, Philippa Boyens
Pemain : Elijah Wood, Ian McKellen, Viggo Mortensen, Liv Tyler
Produksi : New Line Cinema, 2001


MIDDLE Earth semula cuma ada di benak novelis J.R.R. Tolkien: sebuah bumi tempat manusia biasa, penyihir, kurcaci, hobbit (makhluk mini serupa manusia berkaki lebar berbulu), kaum elf yang elok dan punya hidup abadi, monster orc yang menjijikkan, serta sekian mahkluk ganjil lain bersilang takdir. Ada persahabatan, cinta kasih, hasrat rendah, ataupun pengkhianatan yang tergulung dalam pusaran petualangan yang mendebarkan. Begitu kompleks dan imajinatifnya kisah yang dijalin Tolkien dalam trilogi The Lord of the Rings ini sehingga vonis langsung jatuh tak lama setelah penerbitan perdananya pada 1960-an: karya ini tak mungkin difilmkan.

Vonis tersebut terbukti keliru. Peter Jackson, sutradara asal Selandia Baru, telah berhasil membuat kata-kata Tolkien menari dalam bentuk gambar dalam film The Fellowship of the Ring, bagian pertama dari trilogi itu. Film sepanjang tiga jam ini tidak hanya mampu memaku penonton ke tempat duduk, tapi juga langsung membuat penonton ingin segera menyaksikan lanjutannya. Kesabaran perlu dipupuk karena The Two Towers, seri keduanya, baru akan beredar tahun depan, sementara bagian terakhir, yaitu The Return of the King, akan dirilis setahunnya lagi. Dua film lanjutan itu saat ini dalam proses pascaproduksi karena syutingnya sendiri sudah selesai bersamaan dengan syuting The Fellowship.

Syuting simultan tiga film memang tergolong gendeng. Namun, Jackson memilih cara ini agar intensitas pembuatan film jadi terjaga. Selama setahun penuh, Jackson dan krunya tak meninggalkan Selandia Baru, yang dijadikan lokasi pengambilan gambar. Tuntutan pada pemain sangat berat. Pemeran kaum elf, misalnya, diharuskan belajar bahasa elfish "ajaib" yang dibuat berdasarkan arahan ahli bahasa. Bujet proyek? Bukan main-main: US$ 270 juta atau sekitar Rp 2,7 triliun.

The Fellowship dimulai dengan sekitar tujuh menit pengenalan Middle Earth. Yah, semacam Tolkien for dummies. Selanjutnya, penonton dibawa ke perkampungan hobbit. Adegan pesta di sini tak ubahnya acara anak-anak produksi BBC. Dua bagian awal ini tergolong titik lemah The Fellowship. Namun, begitu kisah memasuki bagian yang lebih gelap, irama film menderas sampai akhir.

Kisah utama The Fellowship berpusat pada Frodo Baggins (Elijah Wood). Hobbit belia ini tanpa kemauannya sendiri mewarisi cincin buatan Sauron, peguasa kegelapan. Oleh penyihir bijak Gandalf (Ian McKellen), Frodo diberi saran agar memusnahkan cincin itu ke kawah Mordor. Demi menyelamatkan kaumnya, Frodo menyanggupi perjalanan maut ini berteman tiga hobbit lain: Sam, Merry, dan Pippin. Ikut dalam rombongan ini dua kesatria manusia Aragorn (Viggo Mortensen) dan Boromir (Sean Bean), prajurit kerdil Gimli, dan elf jago panah Legolas.

Perjalanan kelompok ini selalu mendapat ancaman dari penyihir jahat Saruman (Christopher Lee), bekas teman Gandalf yang berkhianat. Saruman, yang menjual jiwanya kepada Sauron, membentuk pasukan monster yang menakutkan. Ancaman lain bagi Frodo dan kawan-kawannya datang dari Ringwraiths, kesatria hantu yang menunggang kuda hitam.

Racikan Jackson terbukti diminati pencinta film. Sampai dua bulan peredarannya di seluruh dunia, Fellowship telah menjala US$ 684 juta. Itu menjadikan film ini duduk dalam peringkat ketujuh film terlaris sepanjang masa. Peringkat Fellowship dipastikan akan melonjak karena pemutaran film ini masih berlangsung, termasuk di Indonesia.

Faktor lain yang membuat film ini akan makin laris adalah ganjaran 13 nominasi Oscar yang diberikan Academy Awards tahun ini, termasuk untuk kategori sutradara dan film terbaik. Itu merupakan sesuatu yang wajar karena semua unsur pendukung dalam film ini hampir tanpa cela. Akting para pemainnya meyakinkan. Yang paling gemilang adalah penampilan Ian McKellen, yang berhasil meraih nominasi aktor pendukung terbaik Academy Awards. Adegan terbaiknya adalah saat Gandalf ber-hadapan dengan setan purba di pertambangan kaum kerdil. Pencapaian paling istimewa dari sisi teknis adalah proyeksi gambar yang berhasil "memampatkan" para pemeran hobbit hingga terlihat betul-betul separuh ukuran manusia dewasa.

Kelemahan Fellowship yang mungkin mengganjalnya untuk menyabet gelar film terbaik adalah kurang dalamnya penggalian karakter tokoh-tokohnya. Misalnya, hubungan persahabatan Frodo dan Sam, yang dalam buku begitu kental, dalam film tenggelam oleh kemegahan adegan-adegan laga. Hubungan asmara Aragorn dan wanita elf Arwen (Liv Tyler), yang semestinya mengharukan, malah terlihat tawar dan tempelan belaka. Puitisasi dialog antartokoh di dalam buku tenggelam dalam kesibukan menata landscape yang gigantik dan—harus diakui—gilang-gemilang. Persoalan yang dihadapi pembuat film ini tampaknya adalah durasi tayang. Bila para aktornya mendapat porsi lebih, film ini bisa lebih dari tiga jam. Namun, siapa tahu keajaiban akan memeluk Fellowship. "May it be," begitu tutur Enya dalam lagu penutup film ini.

Dari Majalah TEMPO Edisi. 51/XXX/18 - 24 Februari 2002

Comment

Guest Book


Free shoutbox @ ShoutMix

Visitors

Supported by

Powered by Blogger